Selasa, 29 Oktober 2013

Cinta di Warung Kopi (cerpen)

Waktu menunjukkan pukul lima pagi, aku beranjak dari selimut tebal yang begitu setia membalut enam jam tidurku. Masih ngantuk dan capek rasanya. Aku sempatkan melahap sepiring nasi goreng dan segelas susu sebelum berangkat kerja, berharap ini semua cukup memberikan tenaga ekstra untuk menghadapi petualangan hari ini.
Hidupku tidak spesial, terkadang aku merenung, mengapa aku terlahir dengan nasib seperti ini. Ibuku telah tiada, beliau meninggal ketika melahirkan adikku. Semuanya terekam dengan lengkap di memori, saat aku berusia enam tahun dan melihat jenasah ibuku dimasukkan ke liang kubur. Aku, Fatma Annisa kecil, hanya mampu memandangi papan kayu bertuliskan Muslimah binti Khomari. Adikku yang belum genap berusia satu hari menangis dalam gendongan mbok (mbah putriku), sementara bapak tak berhenti mengelus undukan tanah kuburan bercampur kembang. Tidak banyak yang aku pahami kala itu, yang aku tahu ibuku masuk surga dan aku harus selalu mendoakannya.
Tujuh belas tahun berlalu dengan begitu cepat. Sekarang aku bekerja di sebuah rumah sakit swasta. Bukan sebagai perawat ataupun dokter, tapi sebagai kasir. Mengurusi pembayaran orang sakit, menyaksikan sepotong kisah takdir banyak orang, bekerja di tempat ini membuatku bersyukur karena di balik beratnya hidupku ternyata masih banyak mereka yang kurang beruntung. Meskipun lelah, aku selalu berusaha tersenyum semanis mungkin. Tak jarang mereka melakukan antrian pembayaran sambil mengajak ngobrol dan curhat.
Sesampainya di kamar kost, HP bututku bergetar. Sebuah SMS dari nomor tidak dikenal. “Mbak, aku minta uang 300 ribu untuk praktikum.. //indah”. Aku menarik nafas dalam setelah membacanya, kemudian membalas dengan singkat yang intinya besok uang aku kirim melalui rekening Bulik Yayuk. Indah adikku duduk di bangku SMA, dia tumbuh menjadi gadis cantik dan pintar, tidak seperti aku yang memiliki wajah dan kecerdasan rata-rata. Meskipun dia sekolah tanpa harus membayar dan mendapat beasiswa, setiap bulan aku mengirimkan sebagian gajiku untuk Indah dan mbok di kampung. Sedikit, tapi alhamdulillah cukup. Makan dua kali sehari, berjualan pulsa, rajin puasa, sedikit diantara banyak hal yang aku lakukan untuk menyiasati keterbatasan dana.
Samar terdengar nada panggil yang tidak asing. Aku berlari dari kamar mandi dan segera meraihnya. “Haloo..” suara merdu yang selalu menyejukkan hati terdengar dari seberang. Tidak biasanya Affan menelepon di hari Rabu. Dia adalah motivator terbaikku, sahabat sekaligus kekasih yang teramat sangat aku cintai. Kami bersahabat sejak SMP, kemudian menjalin kasih setelah lulus. Aku melanjutkan ke jenjang SMK, sedangkan dia sekolah di SMA favorit di kota Blitar. Sesuai cita-citanya, Affan kemudian masuk akademi militer di Magelang, sedangkan aku merantau kerja di Malang. Aku bersyukur memilikinya, sosok yang bersedia menerima segala kekuranganku. “Maaf Fatma, aku menelepon karena ada yang penting”, sejenak aku merasakan sesuatu aneh dalam obrolan yang kaku ini. Affan selalu memanggilku dengan sebutan “sayang”, selalu berbicara dengan lembut, selalu santai dan penuh candaan ketika menelepon. “Fatma, kita tidak bisa melanjutkan hubungan ini, kita harus putus..”. Kini suaranya yang lembut berubah menjadi petir yang menggelegar di telinga. Seperti raungan singa yang seakan siap menangkap mangsa. Lima tahun yang berakhir dengan sekejap menit. Affan memutuskan aku. Dia meninggalkan semua janji komitmennya. Ibunya telah memilihkan calon istri, mau tidak mau dia harus mau. Aku sangat kecewa karena dia sama sekali tidak memperjuangkan aku. Sedih yang meradang, sakit sekali.
*****
Hari Minggu dan sedang tidak pulang kampung. Aku berada di angkot dalam perjalanan menuju rumah dr. Liana. Undangannya jam tujuh, sedikit telat tidak masalah, acaranya hanya makan-makan dalam rangka syukuran. Beliau adalah dokter spesialis kandungan yang praktek di rumah sakit tempatku bekerja. Aku melangkah memasuki rumah mewah bernuansa ukiran kayu jati. Dari panduan pembawa acara, aku baru sadar bahwa ini adalah acara tunangan. “Mutiara Citra dan Affan Kurniawan”. Jantungku seakan berhenti, aku melihat sosok tampan itu, bersanding dengan putri dr. Liana. Air mataku tak terbendung, ketika mendengar seorang tamu bercerita tentang Affan memutuskan pacarnya yang yatim piatu, ibunya meninggal dan kemudian ayahnya bunuh diri.
Aku bergegas pergi, lalu masuk sebuah warung kopi modern di jalan Diponegoro. Aku duduk di pojok, memesan secangkir kopi hitam, diam dan sendiri. “Hai, kamu Fatma kan??”, aku tersentak saat seorang pria menghampiriku, tinggi putih tampan. “Masih ingat sama aku? Aku Zidan, putranya Bu Atmaja”, dia berusaha memulihkan ingatanku. Benar, dia anak seorang pasien penderita kanker di RS Purnama, tempatku bekerja. Seorang wanita tegar yang pernah menangis ketika beliau bertanya dan mendengar cerita tentang keluargaku, tentang orang tuaku.
Kami ngobrol dengan akrab, meskipun aku tersipu malu ketika dia mengungkapkan kekaguman dan terimakasihnya kepadaku. Aku tidak menyangka senyum dan sapaanku kepada mereka dianggap sebagai sesuatu yang begitu berarti. Aku semakin tersipu saat Zidan mengungkapkan ketertarikannya padaku. Entahlah, ini seperti mimpi. Aku jatuh cinta lagi, kepada pria tampan yang lima bulan lalu telah jatuh hati kepadaku. Pria yang kehadirannya sempat tak berarti. Pria yang mencintai dengan ketulusan, bukan karena penampilanku.
  

..diikutsertakan dalam event menulis Penerbit Harfeey dan dimuat di buku "Dongeng Cinderella Jilid 1" ^_^ 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar