Waktu menunjukkan
pukul lima pagi, aku beranjak dari selimut tebal yang begitu setia
membalut enam jam tidurku. Masih ngantuk dan capek rasanya. Aku
sempatkan melahap sepiring nasi goreng dan segelas susu sebelum
berangkat kerja, berharap ini semua cukup memberikan tenaga ekstra
untuk menghadapi petualangan hari ini.
Hidupku tidak
spesial, terkadang aku merenung, mengapa aku terlahir dengan nasib
seperti ini. Ibuku telah tiada, beliau meninggal ketika melahirkan
adikku. Semuanya terekam dengan lengkap di memori, saat aku berusia
enam tahun dan melihat jenasah ibuku dimasukkan ke liang kubur. Aku,
Fatma Annisa kecil, hanya mampu memandangi papan kayu bertuliskan
Muslimah binti Khomari. Adikku yang belum genap berusia satu hari
menangis dalam gendongan mbok (mbah putriku), sementara bapak tak
berhenti mengelus undukan tanah kuburan bercampur kembang. Tidak
banyak yang aku pahami kala itu, yang aku tahu ibuku masuk surga dan
aku harus selalu mendoakannya.
Tujuh belas tahun
berlalu dengan begitu cepat. Sekarang aku bekerja di sebuah rumah
sakit swasta. Bukan sebagai perawat ataupun dokter, tapi sebagai
kasir. Mengurusi pembayaran orang sakit, menyaksikan sepotong kisah
takdir banyak orang, bekerja di tempat ini membuatku bersyukur karena
di balik beratnya hidupku ternyata masih banyak mereka yang kurang
beruntung. Meskipun lelah, aku selalu berusaha tersenyum semanis
mungkin. Tak jarang mereka melakukan antrian pembayaran sambil
mengajak ngobrol dan curhat.
Sesampainya di kamar
kost, HP bututku bergetar. Sebuah SMS dari nomor tidak dikenal.
“Mbak,
aku minta uang 300 ribu untuk praktikum.. //indah”. Aku
menarik nafas dalam setelah membacanya, kemudian membalas dengan
singkat yang intinya besok uang aku kirim melalui rekening Bulik
Yayuk. Indah adikku duduk di bangku SMA, dia tumbuh menjadi gadis
cantik dan pintar, tidak seperti aku yang memiliki wajah dan
kecerdasan rata-rata. Meskipun dia sekolah tanpa harus membayar dan
mendapat beasiswa, setiap bulan aku mengirimkan sebagian gajiku untuk
Indah dan mbok di kampung. Sedikit, tapi alhamdulillah cukup. Makan
dua kali sehari, berjualan pulsa, rajin puasa, sedikit diantara
banyak hal yang aku lakukan untuk menyiasati keterbatasan dana.
Samar terdengar nada
panggil yang tidak asing. Aku berlari dari kamar mandi dan segera
meraihnya. “Haloo..” suara merdu yang selalu menyejukkan hati
terdengar dari seberang. Tidak biasanya Affan menelepon di hari Rabu.
Dia adalah motivator terbaikku, sahabat sekaligus kekasih yang
teramat sangat aku cintai. Kami bersahabat sejak SMP, kemudian
menjalin kasih setelah lulus. Aku melanjutkan ke jenjang SMK,
sedangkan dia sekolah di SMA favorit di kota Blitar. Sesuai
cita-citanya, Affan kemudian masuk akademi militer di Magelang,
sedangkan aku merantau kerja di Malang. Aku bersyukur memilikinya,
sosok yang bersedia menerima segala kekuranganku. “Maaf Fatma, aku
menelepon karena ada yang penting”, sejenak aku merasakan sesuatu
aneh dalam obrolan yang kaku ini. Affan selalu memanggilku dengan
sebutan “sayang”, selalu berbicara dengan lembut, selalu santai
dan penuh candaan ketika menelepon. “Fatma, kita tidak bisa
melanjutkan hubungan ini, kita harus putus..”. Kini suaranya yang
lembut berubah menjadi petir yang menggelegar di telinga. Seperti
raungan singa yang seakan siap menangkap mangsa. Lima tahun yang
berakhir dengan sekejap menit. Affan memutuskan aku. Dia meninggalkan
semua janji komitmennya. Ibunya telah memilihkan calon istri, mau
tidak mau dia harus mau. Aku sangat kecewa karena dia sama sekali
tidak memperjuangkan aku. Sedih yang meradang, sakit sekali.
*****
Hari Minggu dan
sedang tidak pulang kampung. Aku berada di angkot dalam perjalanan
menuju rumah dr. Liana. Undangannya jam tujuh, sedikit telat tidak
masalah, acaranya hanya makan-makan dalam rangka syukuran. Beliau
adalah dokter spesialis kandungan yang praktek di rumah sakit
tempatku bekerja. Aku melangkah memasuki rumah mewah bernuansa ukiran
kayu jati. Dari panduan pembawa acara, aku baru sadar bahwa ini
adalah acara tunangan. “Mutiara Citra dan Affan Kurniawan”.
Jantungku seakan berhenti, aku melihat sosok tampan itu, bersanding
dengan putri dr. Liana. Air mataku tak terbendung, ketika mendengar
seorang tamu bercerita tentang Affan memutuskan pacarnya yang yatim
piatu, ibunya meninggal dan kemudian ayahnya bunuh diri.
Aku bergegas pergi,
lalu masuk sebuah warung kopi modern di jalan Diponegoro. Aku duduk
di pojok, memesan secangkir kopi hitam, diam dan sendiri. “Hai,
kamu Fatma kan??”, aku tersentak saat seorang pria menghampiriku,
tinggi putih tampan. “Masih ingat sama aku? Aku Zidan, putranya Bu
Atmaja”, dia berusaha memulihkan ingatanku. Benar, dia anak seorang
pasien penderita kanker di RS Purnama, tempatku bekerja. Seorang
wanita tegar yang pernah menangis ketika beliau bertanya dan
mendengar cerita tentang keluargaku, tentang orang tuaku.
Kami ngobrol dengan
akrab, meskipun aku tersipu malu ketika dia mengungkapkan kekaguman
dan terimakasihnya kepadaku. Aku tidak menyangka senyum dan sapaanku
kepada mereka dianggap sebagai sesuatu yang begitu berarti. Aku
semakin tersipu saat Zidan mengungkapkan ketertarikannya padaku.
Entahlah, ini seperti mimpi. Aku jatuh cinta lagi, kepada pria tampan
yang lima bulan lalu telah jatuh hati kepadaku. Pria yang
kehadirannya sempat tak berarti. Pria yang mencintai dengan
ketulusan, bukan karena penampilanku.
..diikutsertakan dalam event menulis Penerbit Harfeey dan dimuat di buku "Dongeng Cinderella Jilid 1" ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar